Tab Menu

Sabtu, 06 Juni 2020

Melahirkan Ditengah Pandemi Covid-19 _ Part 3 (Selesai)

Lanjutan Part 2

     Hari pertama pasca operasi, kami lebih konsen untuk mencari tempat/lab yang melayani swab tes dengan cepat. Kami mendapat informasi dari saudara yang sudah pernah swab tes, bahwa ada lab yang prosesnya hanya 1-2 hari sudah keluar hasilnya. Memang harus mengeluarkan biaya sendiri yang tentunya lebih mahal, sedangkan jika lewat rumah sakit kami dirawat akan dikirim ke lab milik pemerintah gratis tapi memakan waktu sampai sekitar 2 minggu, baru keluar hasilnya. Kami tidak ingin digantung begitu lama. Bagaimana jika kami ingin bertemu dengan bayi kami? Bertemu si kakak?
     Akhirnya kami mendapat kontak lab tersebut. Tinggal menunggu Acc dari dokter spesialis paru, apakah kami diperbolehkan melakukan swab tes dari lab diluar rumah sakit ini. Malam harinya sang dokter baru visit, kami sampaikan rencana kami, dan jelas saja kami di Acc. Kami juga berkoordinasi dengan pihak lab rumah sakit, ternyata mereka siap membantu untuk pengambilan sample swab nya dan membantu mengkomunikasikan dengan pihak lab lain tadi. Ada yang menarik dari kejadian ini. Jika kami melakukan swab tes mandiri, langsung dengan lab lain itu, biayanya justru lebih mahal dibandingkan jika kami "disalurkan" melalui lab rumah sakit tempat saya dirawat.
     Keesokan harinya, tanggal 5 Mei siang, saya dan suami diambil sample untuk swab tes. Kenapa harus berdua? Bukankah yang menjadi PDP hanya saya? Pertimbangan kami, sehari-hari kami tinggal serumah. Bahkan beberapa hari sebelumnya suamilah yang sempat demam dan batuk, meskipun hanya 2 hari. Jika ternyata salah 1 dari kami ada yang positif, otomatis salah 1 yang lain menjadi ODP. Lalu bagaimana dengan si kakak yang sedang dititipkan? Dia juga harus dites kan. Keluarga saudara yang kami titipi? Harus dites juga, karena mereka kontak dengan si kakak. Setelah dilakukan swab tes, saya makin galau pusing jika memikirkan kemungkinan hal buruk itu. Rantainya jadi panjang.
Petugas lab sedang menyiapkan alat yang akan digunakan untuk mengambil sample swab
Pengambilan sample cairan di saluran pernapasan
Pengambilan sample cairan di saluran tenggorokan

     Tanggal 6 makin galau, sempat menanyakan hasilnya langsung ke pihak lab lain tadi, ternyata sampai malam hasilnya masih belum keluar. Kami masih harus menunggu sampai esok hari. Kamis tanggal 7, hari terakhir seharusnya saya dirawat pasca melahirkan. Saya diminta untuk ct scan torax lagi sebelum dibolehkan pulang. Saat itu, kata suster hasil swab kami belum keluar. Terlebih lagi hari ini tanggal merah. Haduh makin galau. Haruskah kami menunggu lagi?
Hasil CT Scan pasca melahirkan, Alhamdulillah sudah sehat
     Ketika saya mandi, suami menerima telepon entah dari siapa, yang ternyata dari bagian lab rumah sakit. Mereka memberitahukan bahwa hasilnya sudah keluar, tapi masih dalam bentuk soft copy yang akan dikirimkan via email. Untuk hard copynya belum diantar ke rumah sakit (bahkan sampai kami keluar dari rumah sakit pada hari itu). Bagi kami itu tidak begitu penting. Soft copy pun tidak masalah. Yang penting keterangan isinya. Inilah yang kami tunggu-tunggu sejak pertama kali masuk rumah sakit pada hari Minggu, tanggal 3 lalu. Hasil swab tes kami berdua dinyatakan NEGATIF Covid-19. Seketika plong, lega, syukur alhamdulillah kami dinyatakan negatif.

Hasil Swab tes Inge
Hasil Swab tes Aziz
      Meskipun kami juga merasa kecewa, bahwa saya dipaksa untuk operasi cesar, padahal masih belum tentu saya positif Covid-19. Tapi nasi telah menjadi bubur. Kami tidak bisa mengulang mengembalikan keadaan. Inilah qodar yang harus kami jalani. Semoga Allah ganti yang lebih baik dan lebih barokah. Kita semua diberikan kesehatan, dijauhkan dari virus Covid ini, dan Allah segera memusnahkan virus Covid dari bumi kita tercinta ini.
     Setelah mengetahui hasil kami negatif, rasa kangen dengan bayi kami makin tidak bisa dibendung. Saya ingin sekali bertemu dan menggendong bayi saya. Akhirnya waktu itu datang juga, kami bisa bertemu dengan bayi kami. Dan siang harinya saya sudah diperbolehkan untuk pulang.
Pertama kalinya menggendong bayi perempuan kami, pada hari keempat pasca melahirkan
     Terima kasih banyak atas waktunya, telah meluangkan waktu untuk membaca cerita pengalaman kami melahirkan ditengah pandemi Covid-19. Semoga tulisan ini bisa memberi manfaat bagi orang lain. Jika ada yang ingin ditanyakan, misal biaya paket bersalin di rumah sakit tempat saya melahirkan, nama lab tempat kami swab tes serta biayanya, atau yang lainnya, bisa DM ke email saya alitalya22@gmail.com. Mohon maaf tidak bisa saya sampaikan langsung pada tulisan saya ini. Harap maklum.
Sampai jumpa pada tulisan saya yang lain. Semoga sehat selalu..

Melahirkan Ditengah Pandemi Covid-19 _ Part 2

Lanjutan Part 1

     Sekitar pukul 11 malam, saya mulai diberi obat pereda nyeri lewat cairan infus. Katanya tidak langsung bereaksi, tapi berangsur-angsur. Sejam, dua jam, tiga jam, masih terasa sakitnya. Tidak ada berkurangnya. Sampai akhirnya suster datang lagi membawa obat pereda nyeri yang (maaf) dimasukkan an*s. Biasanya obat yang dimasukkan an*s itu reaksinya cepat. Obat diberikan sekitar pukul setengah 3 pagi, sekalian pemeriksaan dalam yang terakhir, ternyata sudah pembukaan 3. Setengah jam, tetap sakit, sejam masih sama, sampai waktunya sahur pun suami tidak saya perbolehkan pergi beli makan, karena harus menemani saya, mengusap-usap pinggang saya yang sakit saat kontraksi itu datang, hingga akhirnya dia hanya minum air putih tidak makan sahur.
     Obat yang dimasukkan an*s pun juga tidak mempan pada tubuh saya. Saya terus merasakan sakitnya kontraksi. Makin teratur, makin sakit, tapi saya harus cesar. Sakitnya itu dobel-dobel. Saya masih berharap ada keajaiban, pembukaan saya segera lengkap dan bisa lahiran normal. Namun itu tidak juga terjadi. Pukul 6 pagi saya sudah diminta ganti baju operasi. Rasanya dag dig dug. Ini pengalaman pertama saya operasi (semoga tidak pernah lagi). Pukul 7 kurang 10, suster mengantar saya ke ruang operasi dengan kursi roda. Suami hanya mengantar sampai depan pintu ruang operasi dan kembali ke IGD untuk istirahat. Saya tahu dia juga pasti lelah dan ngantuk karena tidak tidur semalaman menemani saya. Tidak lupa salim sama suami, cipika cipiki, kemudian saya masuk ruang operasi.
     Di ruang operasi saya langsung diminta untuk tiduran di meja operasi. Tapi tidak sampai 5 detik, kontraksi itu datang lagi. Saya ijin untuk duduk saja, sambil menunggu persiapan karena kalau dipakai tiduran, saya tidak kuat dengan sakitnya. Suster pun meng-iyakan, kemudian suster keluar lagi untuk mengurus persiapannya. Saya ditinggalkan sendirian di ruang operasi yang sangat dingin. Ruangan yang tidak pernah saya bayangkan untuk saya masuki. Saya melihat-lihat sekeliling sambil menggigil kedinginan. Ruangannya sangat terang, bersih, penuh perlengkapan operasi, dan sangat dingin.
     Sekitar 5 menit, para tim dokter dan suster masuk ruang operasi. Bersiap-siap memakai APD. Suster memeriksa dan menyiapkan perlengkapan operasi yang dibutuhkan. Di samping saya sudah mulai bertugas dokter anastesi dibantu asistennya. Saya mulai disuntikkan anastesi. Hingga terakhir kalinya saat saya diminta untuk berbaring, saya masih merasakan kontraksi untuk terakhir kalinya. Saat berbaring, rasanya perut mulai hangat, kemudian menjalar ke kaki. Hanya bius lokal perut ke bawah. Jadi tangan dan kepala masih sadar. Saya sempat bertanya pada dokter, “kok saya masih bisa merasakan ada sesuatu di atas perut saya ya dok? Kaki saya juga masih terasa jika dipegang”. (Saya takut kalau anastesinya belum benar-benar bereaksi, tapi dokter sudah membelek perut saya. Mulai parno sendiri kan). Kemudian dokter menjawab,” iya memang begitu bu. Ini masih terasa?” (sambil menyentukan entah apa ke perut saya). “Iya terasa”, jawab saya. Dokter tanya lagi, “itu tadi diapain bu?” “Nggak tahu dok”. “Coba sekarang ibu gerakin kaki, angkat kakinya, bisa ga?” Ternyata, “nggak bisa dok”. Dokternya ketawa. Baiklah, percaya saja sama dokter. Sambil terus baca doa-doa.
     Proses pengeluaran bayinya begitu cepat, sekitar 5 menit sudah keluar. Sebenarnya saya bisa lihat perut saya yang dibelek lewat pantulan papan lampu di atas saya, tapi daripada saya takut sendiri, saya lebih memilih menoleh lihat jam dinding. Setelah bayi saya dibersihkan, suster menunjukkan bayi saya sekilas, sambil mengatakan bayinya perempuan, beratnya xx, panjangnya xx. Sudah. Langsung dibawa pergi lagi untuk dimasukkan ke dalam inkubator. Itulah saat saya bertemu dengan bayi saya untuk pertama kalinya, dan baru bertemu lagi setelah 3 hari kemudian sebelum pulang keluar dari rumah sakit.
     Setelah itu saya tidak sadar, saya sangat ngantuk sekali karena hampir 24 jam tidak tidur. Tubuh bagian atas saya juga menggigil kedinginan karena suhu ruangan operasi yang menurut saya sangat dingin. Saya tertidur sekitar 30an menit, sampai saya terbangun saat akan dipindahkan ke ruang pemulihan, sekitar pukul 8. Di ruang pemulihan saya kembali menggigil, bahkan makin menjadi, karena efek dari bius itu tadi. Diselimuti tebal pun masih menggigil. Saya juga sempat muntah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa tiduran tanpa bisa bergerak. Alhamdulillah ditolong dan dibersihkan oleh susternya. Kemudian saya kembali tertidur, kali ini lebih pulas. Baru bangun sekitar pukul 10, ketika akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Di ruang pemulihan
     Saya harus menggunakan ruang perawatan yang sendiri, karena status saya sebagai PDP. Artinya saya harus mengambil ruangan di atas kelas I, dengan kata lain kami juga harus membayar lebih, karena awalnya kami berencana untuk mengambil kelas I atau II.


Lanjut Part 3 >>>

Melahirkan Ditengah Pandemi Covid-19 _ Part 1

     Lama sekali tidak menulis di blog, cerita tentang program hamil. Terakhir saya cerita tentang promil dengan pijat. Entah memang itu jalannya atau memang sudah waktunya Allah kasih, Alhamdulillah saya berhasil hamil anak pertama. Anak pertama kami laki-laki lahir pada Maret 2018. Sekarang sudah berusia 2 tahun.
     Kali ini saya akan bercerita tentang proses melahirkan anak kedua saya ditengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda negeri kita. Alhamdulillah tanpa diduga, saya hamil anak kedua saat anak pertama masih berusia 16 bulan. Setiap anak pasti punya cerita perjuangannya masing-masing. Meskipun mendapatkannya tanpa diduga, tapi proses hamilnya juga punya cerita perjuangan yang cukup berat. Selama hamil, 4x mengalami pendarahan bahkan hingga usia hampir 5 bulan atau 20 minggu. Harus benar-benar bedrest, tapi tidak mungkin dilakukan karena kakaknya tetap minta bermain dengan bundanya. Alhamdulillah terlewati setelah usia 5 bulan, bahkan masyaAllah sehat banget.
     Entah memang bawaan bayi atau bagaimana, kebetulan anak kedua ini perempuan. Saya lebih rajin memasak, dibandingkan pada saat hamil kakaknya. Ditengah pandemi ini, saya juga terpaksa beberapa kali harus kontrol ke dokter kandungan sendirian naik motor, tanpa diantar dan ditemani suami serta sang kakak. Karena suami harus jagain kakak di rumah, sayang kalau harus mengajak balita ke rumah sakit. Padahal usia kehamilan sudah 38 minggu. Alhamdulillah semua dilancarkan.
     Ternyata cobaan kali tidak cukup sampai disitu saja. Tanggal 2 Mei siang, saya sudah mulai kontraksi dengan jeda setiap 15 menit sekali. Masih lumayan bisa ditahan. Masih bisa puasa juga. Hingga keesokan harinya, sudah sahur dan niat puasa, tapi kontraksi mulai meningkat. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak puasa hari itu. Sambil menunggu kontraksi makin teratur, suami menitipkan kakaknya dulu ke rumah pakdhenya. Maklum kami hanya tinggal bertiga, tanpa bantuan asisten rumah tangga, saudara, atau orang tua.
     Ditunggu hingga sore, kontraksi masih tetap belum teratur. Terkadang sudah 5 menit sekali, terkadang 10 menit, bahkan juga 15 menit. Namun kontraksi sudah mulai meningkat. Akhirnya ba'da Ashar suami mengajak saya pergi ke rumah sakit.
     Sesampai di rumah sakit, kami diarahkan ke IGD, bukan ke ruang observasi seperti biasanya. Saya di periksa dan ternyata masih pembukaan 1. Sambil menunggu, kami dijelaskan bahwa saat ini ada prosedur tambahan sebelum tindakan persalinan, selain cek darah lengkap, juga diwajibkan untuk mengikuti Rapid test dan Ct scan torax. Sekitar satu jam kemudian, hasilnya keluar. Suami diarahkan suster untuk menemui dokter yang jaga saat itu.
Saat dilakukan periksaan CTG
     Saat suami dipanggil dokter, perasaan saya mulai tidak tenang. Apakah ada sesuatu yang tidak baik pada saya? Saya terus berdoa semoga hasil pemeriksaan saya semua baik dan bisa segera lahiran normal. Semua ibu-ibu yang pernah melahirkan normal pasti tahu rasa sakitnya kontraksi. Rasanya pengen cepet-cepet keluar saja bayinya, biar tidak merasakan sakit lagi.

Hasil CT Scan Torax sebelum persalinan
     Suami kembali bersama saya, dia menjelaskan dengan sangat hati-hati. Karena dia paling tahu saya akan bereaksi seperti apa jika mendengar berita itu. Isi beritanya adalah alhamdulillah hasil lab saya semua normal, hasil rapid tes juga negatif, meskipun rapid tes itu kurang akurat. Yang jadi masalah adalah hasil ct scan saya ditemukan pneumonia di kanan kiri. Sehingga mengacu pada hasil ct scan itu, saya diharuskan untuk melahirkan secara cesar. Dokter dan rumah sakit tidak ingin kecolongan jika pasiennya ada yang positif Covid-19. Karena di rumah sakit tersebut hanya memiliki 1 ruang bersalin, yang digunakan bersama bagi orang-orang yang sehat.
     Saya dianggap PDP, padahal saya tidak ada gejala apapun. Demam, batuk, atau bahkan sesak napas pun juga tidak. Saya juga tidak pernah keluar rumah kecuali untuk berbelanja sayur. Rasanya saya tidak percaya jika saya terpapar Covid-19. Terlebih lagi yang membuat saya makin down adalah kenyataan bahwa karena saya ada pneumonia, saya harus melahirkan secara cesar. Kenapa saya yang ada pneumonia langsung dianggap PDP? Padahal pneumonia itu banyak jenisnya, banyak sebabnya. Tidak semua pneumonia itu Covid-19. Kenapa harus disamaratakan? Itu tidak adil.
     Kami berdiskusi cukup lama. Saya masih belum bisa terima jika saya harus melahirkan secara cesar hanya gara-gara ada pneumonia. Suami sempat memberi masukan agar saya melahirkan di tempat bidan. Tentunya di sana akan diusahakan lahiran normal dulu. Tapi disisi lain, saya tidak mau membohongi mereka dengan kondisi saya. Bagaimana jika benar saya positif Covid-19? Sama saja saya menularkan pada mereka. Sedangkan saat kami minta Swab tes ke rumah sakit, katanya hasilnya bakal lama. Karena prosesnya harus antri. Hasilnya baru keluar sekitar 2 minggu. Padahal saya bisa saja melahirkan malam ini juga atau mungkin besok. Tidak mungkin menunggu 2 minggu lagi jika ingin lahiran normal.
     Setelah diskusi cukup lama yang disertai drama air mata (lebay, biarin, memang itu kenyataannya), akhirnya kami memutuskan untuk menyetujui tindakan operasi cesar. Tapi dengan syarat, saya minta diberi obat penghilang rasa sakit dari kontraksi yang saya alami. Dokter pun juga menyetujuinya. Saya dijadwalkan operasi esok hari pukul 7 pagi.


Lanjut Part 2 >>>

Sabtu, 24 Maret 2018

Cardiotocography (CTG)

     Cardiotocography (CTG) adalah alat yang digunakan untuk memantau denyut jantung janin dan kontraksi rahim saat bayi dalam kandungan. Alat ini digunakan untuk melihat ada tidaknya gangguan pada bayi sebelum atau selama persalinan. Sehingga, jika ada perubahan pada denyut jantung janin maupun kontraksi rahim pada bumil, dokter dan bidan waspada dan memberi pertolongan dengan segera. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan dan pada saat persalinan.

Seperti Apa Alat dan Cara Kerja CTG?
Source: http://www.yumamura.com/ctg-bestman-lcd/
     Alat CTG atau juga disebut Fetal Monitor. CTG umumnya tampak berupa dua piringan kecil yang ditempelkan ke permukaan perut menggunakan ikat pinggang elastis yang dilingkarkan pada perut bumil. Satu piringan untuk mengukur denyut jantung janin, sementara yang lain mengukur tekanan pada perut. Dengan begitu alat ini mampu menunjukkan kapan saja bumil mengalami kontraksi dan tiap kontraksi dapat diperkirakan kekuatannya.
     Sebelum CTG dipasang, akan dioleskan gel lebih dulu pada perut bumil agar sinyal dapat tertangkap dengan baik. Sabuk ini kemudian dihubungkan pada mesin yang menerjemahkan sinyal yang diterima oleh piringan.
     Untuk mendeteksi denyut jantung janin, CTG menggunakan gelombang suara. Berbeda dengan denyut jantung orang dewasa sekitar 60-100 kali per menit, rata-rata denyut jantung janin dalam kandungan sekitar 110-160 kali per menit. Jika denyut jantung terlalu rendah atau tinggi, bisa jadi ini merupakan tanda adanya masalah pada janin.
Source: http://elektromedik.blogspot.co.id/2016/08/cardiotograph-ctg-untuk-pemeriksaan.html
Kondisi yang Memerlukan Pemeriksaan CTG
     Dokter umumnya tidak menggunakan CTG kalau tidak ada faktor risiko atau gangguan tertentu pada kehamilan dan persalinan. CTG diperlukan jika bumil mengalami kondisi yang dianggap dapat membahayakan persalinan atau bayi dalam kandungan, misalnya diabetes atau tekanan darah tinggi. Pemeriksaan ini diperlukan untuk menentukan kemungkinan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk memudahkan persalinan.
Selain itu, CTG biasanya juga dilakukan secara berkala jika bumil dalam kondisi seperti:
  • Mengalami demam tinggi.
  • Adanya perdarahan saat persalinan
  • Mengalami infeksi seperti HIV atau hepatitis B dan C.
  • Kehamilan bayi kembar.
  • Adanya masalah pada air ketuban (jumlah, warna, aroma).
  • Kehamilan sungsang.
  • Pergerakan janin melemah atau tidak teratur.
  • Diperkirakan mengalami gangguan pada plasenta.
  • Mengalami ketuban pecah dini.
     CTG juga dapat dilakukan untuk mengukur Braxton Hicks atau kontraksi palsu, dan mengantisipasi kontraksi asli pada bumil yang sudah melewati kehamilan trimester ketiga namun belum juga melahirkan.
     Mesin CTG akan mengeluarkan hasil berupa grafik sesuai dengan denyut jantung janin dan kontraksi rahim. Hasil pemeriksaan dapat dikategorikan menjadi reaktif dan nonreaktif. Disebut nonreaktif bila denyut jantung janin tidak bertambah setelah ia bergerak, dan reaktif jika denyut jantung meningkat setelah ia bergerak.
     Bumil, tidak perlu khawatir karena CTG tidak menggunakan radiasi sehingga aman untuk janin.

Source:

Jumat, 23 Maret 2018

Resep Sambal Goreng Kentang - Ati Ampela


Bahan:
  • 1/2 kg kentang
  • 5 buah ati ampela
  • Petai (jika suka)

Bumbu Halus:
  • 4 siung bawang putih
  • 6 siung bawang mereh
  • Cabe rawit (menurut selera)
  • Cabe merang keriting/cabe merah besar (menurut selera)
  • 1 butir tomat merah
  • 3 butir kemiri
  • 2 lembar daun jeruk
  • Gula, garam, dan lada secukupnya
  • Minyak goreng untuk campuran memblender sekaligus untuk menggoreng, secukupnya
  • Air secukupnya

Cara Memasak:
  1. Kupas dan cuci kentang hingga bersih, potong dadu/menurut selera. Goreng hingga empuk dan sisihkan.
  2. Cuci bersih ati ampela, rebus sebentar dan tiriskan. Potong dadu seperti potongan kentang, sisihkan.
  3. Masukkan semua bahan untuk bumbu halus ke dalam blender, kecuali daun jeruk, gula, garam, dan lada. Jika potongan bumbu terlalu besar, bisa dipotong kecil-kecil terlebih dahulu, agar lebih mudah dalam memblender. Jika tidak ada blender di rumah, bisa diuleg manual.
  4. Panaskan wajan, bisa tambahkan minyak goreng sedikit. Tuang bumbu halus ke dalam wajan. Jika dirasa terlalu kental, bisa tambahkan air sedikit.
  5. Tumis hingga kandungan air menyusut dan setengah matang.
  6. Masukkan kentang goreng dan ati ampela ke dalam bumbu.
  7. Masukkan daun jeruk dan gula, garam, lada secukupnya.
  8. Aduk sebentar dan tunggu hingga bumbu meresap, matikan kompor.
  9. Sambal goreng kentang - ati ampela siap dihidangkan.

Selamat mencoba...