Sekitar pukul 11 malam, saya mulai diberi obat pereda nyeri
lewat cairan infus. Katanya tidak langsung bereaksi, tapi berangsur-angsur.
Sejam, dua jam, tiga jam, masih terasa sakitnya. Tidak ada berkurangnya. Sampai
akhirnya suster datang lagi membawa obat pereda nyeri yang (maaf) dimasukkan
an*s. Biasanya obat yang dimasukkan an*s itu reaksinya cepat. Obat diberikan
sekitar pukul setengah 3 pagi, sekalian pemeriksaan dalam yang terakhir,
ternyata sudah pembukaan 3. Setengah jam, tetap sakit, sejam masih sama, sampai
waktunya sahur pun suami tidak saya perbolehkan pergi beli makan, karena harus
menemani saya, mengusap-usap pinggang saya yang sakit saat kontraksi itu
datang, hingga akhirnya dia hanya minum air putih tidak makan sahur.
Obat yang dimasukkan an*s pun juga tidak mempan pada tubuh
saya. Saya terus merasakan sakitnya kontraksi. Makin teratur, makin sakit, tapi
saya harus cesar. Sakitnya itu dobel-dobel. Saya masih berharap ada keajaiban,
pembukaan saya segera lengkap dan bisa lahiran normal. Namun itu tidak juga
terjadi. Pukul 6 pagi saya sudah diminta ganti baju operasi. Rasanya dag dig
dug. Ini pengalaman pertama saya operasi (semoga tidak pernah lagi). Pukul 7
kurang 10, suster mengantar saya ke ruang operasi dengan kursi roda. Suami
hanya mengantar sampai depan pintu ruang operasi dan kembali ke IGD untuk
istirahat. Saya tahu dia juga pasti lelah dan ngantuk karena tidak tidur
semalaman menemani saya. Tidak lupa salim sama suami, cipika cipiki, kemudian saya
masuk ruang operasi.
Di ruang operasi saya langsung diminta untuk tiduran di meja
operasi. Tapi tidak sampai 5 detik, kontraksi itu datang lagi. Saya ijin untuk
duduk saja, sambil menunggu persiapan karena kalau dipakai tiduran, saya tidak
kuat dengan sakitnya. Suster pun meng-iyakan, kemudian suster keluar lagi untuk
mengurus persiapannya. Saya ditinggalkan sendirian di ruang operasi yang sangat
dingin. Ruangan yang tidak pernah saya bayangkan untuk saya masuki. Saya melihat-lihat
sekeliling sambil menggigil kedinginan. Ruangannya sangat terang, bersih, penuh
perlengkapan operasi, dan sangat dingin.
Sekitar 5 menit, para tim dokter dan suster masuk ruang
operasi. Bersiap-siap memakai APD. Suster memeriksa dan menyiapkan perlengkapan
operasi yang dibutuhkan. Di samping saya sudah mulai bertugas dokter anastesi
dibantu asistennya. Saya mulai disuntikkan anastesi. Hingga terakhir kalinya
saat saya diminta untuk berbaring, saya masih merasakan kontraksi untuk
terakhir kalinya. Saat berbaring, rasanya perut mulai hangat, kemudian menjalar
ke kaki. Hanya bius lokal perut ke bawah. Jadi tangan dan kepala masih sadar.
Saya sempat bertanya pada dokter, “kok saya masih bisa merasakan ada sesuatu di
atas perut saya ya dok? Kaki saya juga masih terasa jika dipegang”. (Saya takut
kalau anastesinya belum benar-benar bereaksi, tapi dokter sudah membelek perut
saya. Mulai parno sendiri kan). Kemudian dokter menjawab,” iya memang begitu
bu. Ini masih terasa?” (sambil menyentukan entah apa ke perut saya). “Iya
terasa”, jawab saya. Dokter tanya lagi, “itu tadi diapain bu?” “Nggak tahu dok”.
“Coba sekarang ibu gerakin kaki, angkat kakinya, bisa ga?” Ternyata, “nggak
bisa dok”. Dokternya ketawa. Baiklah, percaya saja sama dokter. Sambil terus
baca doa-doa.
Proses pengeluaran bayinya begitu cepat, sekitar 5 menit
sudah keluar. Sebenarnya saya bisa lihat perut saya yang dibelek lewat pantulan
papan lampu di atas saya, tapi daripada saya takut sendiri, saya lebih memilih
menoleh lihat jam dinding. Setelah bayi saya dibersihkan, suster menunjukkan
bayi saya sekilas, sambil mengatakan bayinya perempuan, beratnya xx, panjangnya
xx. Sudah. Langsung dibawa pergi lagi untuk dimasukkan ke dalam inkubator.
Itulah saat saya bertemu dengan bayi saya untuk pertama kalinya, dan baru
bertemu lagi setelah 3 hari kemudian sebelum pulang keluar dari rumah sakit.
Setelah itu saya tidak sadar, saya sangat ngantuk sekali
karena hampir 24 jam tidak tidur. Tubuh bagian atas saya juga menggigil
kedinginan karena suhu ruangan operasi yang menurut saya sangat dingin. Saya
tertidur sekitar 30an menit, sampai saya terbangun saat akan dipindahkan ke
ruang pemulihan, sekitar pukul 8. Di ruang pemulihan saya kembali menggigil,
bahkan makin menjadi, karena efek dari bius itu tadi. Diselimuti tebal pun
masih menggigil. Saya juga sempat muntah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Saya
hanya bisa tiduran tanpa bisa bergerak. Alhamdulillah ditolong dan dibersihkan
oleh susternya. Kemudian saya kembali tertidur, kali ini lebih pulas. Baru
bangun sekitar pukul 10, ketika akan dipindahkan ke ruang perawatan.
Saya harus menggunakan ruang perawatan yang sendiri, karena
status saya sebagai PDP. Artinya saya harus mengambil ruangan di atas kelas I,
dengan kata lain kami juga harus membayar lebih, karena awalnya kami berencana
untuk mengambil kelas I atau II.
Di ruang pemulihan |
Lanjut Part 3 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar