Kali ini saya akan bercerita tentang proses melahirkan anak kedua saya ditengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda negeri kita. Alhamdulillah tanpa diduga, saya hamil anak kedua saat anak pertama masih berusia 16 bulan. Setiap anak pasti punya cerita perjuangannya masing-masing. Meskipun mendapatkannya tanpa diduga, tapi proses hamilnya juga punya cerita perjuangan yang cukup berat. Selama hamil, 4x mengalami pendarahan bahkan hingga usia hampir 5 bulan atau 20 minggu. Harus benar-benar bedrest, tapi tidak mungkin dilakukan karena kakaknya tetap minta bermain dengan bundanya. Alhamdulillah terlewati setelah usia 5 bulan, bahkan masyaAllah sehat banget.
Entah memang bawaan bayi atau bagaimana, kebetulan anak kedua ini perempuan. Saya lebih rajin memasak, dibandingkan pada saat hamil kakaknya. Ditengah pandemi ini, saya juga terpaksa beberapa kali harus kontrol ke dokter kandungan sendirian naik motor, tanpa diantar dan ditemani suami serta sang kakak. Karena suami harus jagain kakak di rumah, sayang kalau harus mengajak balita ke rumah sakit. Padahal usia kehamilan sudah 38 minggu. Alhamdulillah semua dilancarkan.
Ternyata cobaan kali tidak cukup sampai disitu saja. Tanggal 2 Mei siang, saya sudah mulai kontraksi dengan jeda setiap 15 menit sekali. Masih lumayan bisa ditahan. Masih bisa puasa juga. Hingga keesokan harinya, sudah sahur dan niat puasa, tapi kontraksi mulai meningkat. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak puasa hari itu. Sambil menunggu kontraksi makin teratur, suami menitipkan kakaknya dulu ke rumah pakdhenya. Maklum kami hanya tinggal bertiga, tanpa bantuan asisten rumah tangga, saudara, atau orang tua.
Ditunggu hingga sore, kontraksi masih tetap belum teratur. Terkadang sudah 5 menit sekali, terkadang 10 menit, bahkan juga 15 menit. Namun kontraksi sudah mulai meningkat. Akhirnya ba'da Ashar suami mengajak saya pergi ke rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit, kami diarahkan ke IGD, bukan ke
ruang observasi seperti biasanya. Saya di periksa dan ternyata masih pembukaan
1. Sambil menunggu, kami dijelaskan bahwa saat ini ada prosedur tambahan
sebelum tindakan persalinan, selain cek darah lengkap, juga diwajibkan untuk
mengikuti Rapid test dan Ct scan torax. Sekitar satu jam kemudian, hasilnya
keluar. Suami diarahkan suster untuk menemui dokter yang jaga saat itu.
Saat dilakukan periksaan CTG |
Hasil CT Scan Torax sebelum persalinan |
Saya dianggap PDP, padahal saya tidak ada gejala apapun.
Demam, batuk, atau bahkan sesak napas pun juga tidak. Saya juga tidak pernah
keluar rumah kecuali untuk berbelanja sayur. Rasanya saya tidak percaya jika
saya terpapar Covid-19. Terlebih lagi yang membuat saya makin down adalah
kenyataan bahwa karena saya ada pneumonia, saya harus melahirkan secara cesar.
Kenapa saya yang ada pneumonia langsung dianggap PDP? Padahal pneumonia itu
banyak jenisnya, banyak sebabnya. Tidak semua pneumonia itu Covid-19. Kenapa
harus disamaratakan? Itu tidak adil.
Kami berdiskusi cukup lama. Saya masih belum bisa terima
jika saya harus melahirkan secara cesar hanya gara-gara ada pneumonia. Suami
sempat memberi masukan agar saya melahirkan di tempat bidan. Tentunya di sana
akan diusahakan lahiran normal dulu. Tapi disisi lain, saya tidak mau
membohongi mereka dengan kondisi saya. Bagaimana jika benar saya positif
Covid-19? Sama saja saya menularkan pada mereka. Sedangkan saat kami minta Swab
tes ke rumah sakit, katanya hasilnya bakal lama. Karena prosesnya harus antri.
Hasilnya baru keluar sekitar 2 minggu. Padahal saya bisa saja melahirkan malam
ini juga atau mungkin besok. Tidak mungkin menunggu 2 minggu lagi jika ingin
lahiran normal.
Setelah diskusi cukup lama yang disertai drama air mata
(lebay, biarin, memang itu kenyataannya), akhirnya kami memutuskan untuk
menyetujui tindakan operasi cesar. Tapi dengan syarat, saya minta diberi obat
penghilang rasa sakit dari kontraksi yang saya alami. Dokter pun juga
menyetujuinya. Saya dijadwalkan operasi esok hari pukul 7 pagi.
Lanjut Part 2 >>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar