Tab Menu

Sabtu, 06 Juni 2020

Melahirkan Ditengah Pandemi Covid-19 _ Part 1

     Lama sekali tidak menulis di blog, cerita tentang program hamil. Terakhir saya cerita tentang promil dengan pijat. Entah memang itu jalannya atau memang sudah waktunya Allah kasih, Alhamdulillah saya berhasil hamil anak pertama. Anak pertama kami laki-laki lahir pada Maret 2018. Sekarang sudah berusia 2 tahun.
     Kali ini saya akan bercerita tentang proses melahirkan anak kedua saya ditengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda negeri kita. Alhamdulillah tanpa diduga, saya hamil anak kedua saat anak pertama masih berusia 16 bulan. Setiap anak pasti punya cerita perjuangannya masing-masing. Meskipun mendapatkannya tanpa diduga, tapi proses hamilnya juga punya cerita perjuangan yang cukup berat. Selama hamil, 4x mengalami pendarahan bahkan hingga usia hampir 5 bulan atau 20 minggu. Harus benar-benar bedrest, tapi tidak mungkin dilakukan karena kakaknya tetap minta bermain dengan bundanya. Alhamdulillah terlewati setelah usia 5 bulan, bahkan masyaAllah sehat banget.
     Entah memang bawaan bayi atau bagaimana, kebetulan anak kedua ini perempuan. Saya lebih rajin memasak, dibandingkan pada saat hamil kakaknya. Ditengah pandemi ini, saya juga terpaksa beberapa kali harus kontrol ke dokter kandungan sendirian naik motor, tanpa diantar dan ditemani suami serta sang kakak. Karena suami harus jagain kakak di rumah, sayang kalau harus mengajak balita ke rumah sakit. Padahal usia kehamilan sudah 38 minggu. Alhamdulillah semua dilancarkan.
     Ternyata cobaan kali tidak cukup sampai disitu saja. Tanggal 2 Mei siang, saya sudah mulai kontraksi dengan jeda setiap 15 menit sekali. Masih lumayan bisa ditahan. Masih bisa puasa juga. Hingga keesokan harinya, sudah sahur dan niat puasa, tapi kontraksi mulai meningkat. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak puasa hari itu. Sambil menunggu kontraksi makin teratur, suami menitipkan kakaknya dulu ke rumah pakdhenya. Maklum kami hanya tinggal bertiga, tanpa bantuan asisten rumah tangga, saudara, atau orang tua.
     Ditunggu hingga sore, kontraksi masih tetap belum teratur. Terkadang sudah 5 menit sekali, terkadang 10 menit, bahkan juga 15 menit. Namun kontraksi sudah mulai meningkat. Akhirnya ba'da Ashar suami mengajak saya pergi ke rumah sakit.
     Sesampai di rumah sakit, kami diarahkan ke IGD, bukan ke ruang observasi seperti biasanya. Saya di periksa dan ternyata masih pembukaan 1. Sambil menunggu, kami dijelaskan bahwa saat ini ada prosedur tambahan sebelum tindakan persalinan, selain cek darah lengkap, juga diwajibkan untuk mengikuti Rapid test dan Ct scan torax. Sekitar satu jam kemudian, hasilnya keluar. Suami diarahkan suster untuk menemui dokter yang jaga saat itu.
Saat dilakukan periksaan CTG
     Saat suami dipanggil dokter, perasaan saya mulai tidak tenang. Apakah ada sesuatu yang tidak baik pada saya? Saya terus berdoa semoga hasil pemeriksaan saya semua baik dan bisa segera lahiran normal. Semua ibu-ibu yang pernah melahirkan normal pasti tahu rasa sakitnya kontraksi. Rasanya pengen cepet-cepet keluar saja bayinya, biar tidak merasakan sakit lagi.

Hasil CT Scan Torax sebelum persalinan
     Suami kembali bersama saya, dia menjelaskan dengan sangat hati-hati. Karena dia paling tahu saya akan bereaksi seperti apa jika mendengar berita itu. Isi beritanya adalah alhamdulillah hasil lab saya semua normal, hasil rapid tes juga negatif, meskipun rapid tes itu kurang akurat. Yang jadi masalah adalah hasil ct scan saya ditemukan pneumonia di kanan kiri. Sehingga mengacu pada hasil ct scan itu, saya diharuskan untuk melahirkan secara cesar. Dokter dan rumah sakit tidak ingin kecolongan jika pasiennya ada yang positif Covid-19. Karena di rumah sakit tersebut hanya memiliki 1 ruang bersalin, yang digunakan bersama bagi orang-orang yang sehat.
     Saya dianggap PDP, padahal saya tidak ada gejala apapun. Demam, batuk, atau bahkan sesak napas pun juga tidak. Saya juga tidak pernah keluar rumah kecuali untuk berbelanja sayur. Rasanya saya tidak percaya jika saya terpapar Covid-19. Terlebih lagi yang membuat saya makin down adalah kenyataan bahwa karena saya ada pneumonia, saya harus melahirkan secara cesar. Kenapa saya yang ada pneumonia langsung dianggap PDP? Padahal pneumonia itu banyak jenisnya, banyak sebabnya. Tidak semua pneumonia itu Covid-19. Kenapa harus disamaratakan? Itu tidak adil.
     Kami berdiskusi cukup lama. Saya masih belum bisa terima jika saya harus melahirkan secara cesar hanya gara-gara ada pneumonia. Suami sempat memberi masukan agar saya melahirkan di tempat bidan. Tentunya di sana akan diusahakan lahiran normal dulu. Tapi disisi lain, saya tidak mau membohongi mereka dengan kondisi saya. Bagaimana jika benar saya positif Covid-19? Sama saja saya menularkan pada mereka. Sedangkan saat kami minta Swab tes ke rumah sakit, katanya hasilnya bakal lama. Karena prosesnya harus antri. Hasilnya baru keluar sekitar 2 minggu. Padahal saya bisa saja melahirkan malam ini juga atau mungkin besok. Tidak mungkin menunggu 2 minggu lagi jika ingin lahiran normal.
     Setelah diskusi cukup lama yang disertai drama air mata (lebay, biarin, memang itu kenyataannya), akhirnya kami memutuskan untuk menyetujui tindakan operasi cesar. Tapi dengan syarat, saya minta diberi obat penghilang rasa sakit dari kontraksi yang saya alami. Dokter pun juga menyetujuinya. Saya dijadwalkan operasi esok hari pukul 7 pagi.


Lanjut Part 2 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar