Tab Menu

Senin, 20 Februari 2017

Ayahku (Bukan) Pembohong

Ayahku (Bukan) Pembohong
     Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita? Menatap wajahnya, lantas bilang kita sungguh sayang padanya? Kapan terakhir kali kita bercakap ringan, tertawa gelak, bercengkerama, lantas menyentuh lembut tangannya, bilang kita sungguh bangga padanya?
     Inilah kisah tentang seseorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongen kesederhanaan hidup. Kesederhanaan yang justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Inilah kisah tentang hakikat kebahagiaan sejati. Jika kalian tidak menemukan rumus itu di novel ini, tidak ada lagi cara terbaik untuk menjelaskannya.
     Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.

Ayahku (Bukan) Pembohong
Tere Liye
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Kesebelas: Mei 2014
304 halaman; 20 cm


Kangen ayah ibu di rumah.
Anakmu yang kini berada ratusan kilometer ini, hanya bisa bercengkrama via telepon, dan pastinya akan selalu mendoakan kalian, ayah ibu.
Semoga Allah menjaga kalian, seperti kalian menjagaku dari kecil hingga besar.
Tidak ada yang bisa membalas jasa-jasa kalian.

Titip rindu dan sayang untuk ayah ibu.. 😚😚

Quote:
Hidup harus terus berlanjut,
tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan,
biarkan waktu yang akan menjadi obat.

-----

Sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa.
Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.

-----

# Hakikat sejati kebahagiaan hidup
     Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita.
     Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan cepat hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh berkepanjangan.
     Berbeda halnya jika kau penya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapatkan kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut berbahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementara orang-orang yang hatinya dangkal, sempit,  tidak terlatih, bahkan ketika sahabat baiknya mendapatkan nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya ikut senang.
     Itulah hakikat sejati kebahagiaan. Memperolehnya tidak mudah, kau harus terbiasa dengan kehidupan bersahaja, sederhana, dan apa adanya. Kau harus bekerja keras, sungguh-sungguh, dan atas pilihan sendiri memaksa hati kau berlatih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar